Minggu, 26 April 2009

Ujian Nasional, Ajang Seleksi atau Pembunuh Karakter Pendidikan?

Tanggal 20 April kemarin, para siswa kelas 3 SMA menentukan nasibnya dalam Ujian Nasional. Tak sedikit yang panik dalam menatap ujian yang ditentukan tak hanya oleh bekal akademis, namun juga faktor keberuntungan itu. Aku dapat memahami beban mereka, karena aku juga merasakannya benar tahun lalu. Persiapan yang salah membuatku begitu stres di bulan-bulan seperti ini pada tahun 2008. Tapi Alhamdulillah, karena izin-Nya dan juga keberuntungan yang aku katakan tadi, aku berhasil lolos dari kekhawatiran yang sungguh mengerikan dari konsekuensi negatif yang bisa didapatkan, yaitu tidak lulus SMA.

Sekarang aku memang telah menapaki babak baru di bangku kuliah. Aku memang telah menanggalkan seragam putih abu-abuku dan telah berubah status dari siswa menjadi mahasiswa, dari remaja menjadi pemuda, dari beban orang tua –walaupun aku tahu mereka tak akan terbebani olehku– menjadi pemberi harapan untuk keluarga. Namun sungguh, mendekati waktu Ujian Nasional tahun ini, aku masih saja merasa janggal. Terutama saat aku melihat bagaimana takutnya para siswa dalam menghadapi Ujian Nasional ini lewat televisi, juga saat aku merasakan kekhawatiran adik kelasku menjelang ujian. Seolah-olah aku akan mengulanginya lagi tahun ini.

Sekarang aku ingin memberikan sebuah komparasi. Pada hari yang sama, aku juga melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS). Namun perasaan yang melingkupiku malam harinya sungguh berbeda dengan apa yang para siswa kelas 3 rasakan. Terang saja, apa yang akan aku hadapi bukanlah sebuah penentuan nasib yang akan 100% memberikan keputusan akan kelangsungan hidupku. Nilai UTS hanya beberapa persen dari akumulasi nilai total untuk satu semester. Terlebih, yang aku perlukan dalam menghadapi ujian tersebut hanya kesiapan ilmu yang telah aku dapatkan. Sangat kontras dengan apa yang dipikirkan oleh siswa kelas 3. Ujian Nasional benar-benar menentukan hidup mereka selanjutnya. Mereka tak hanya membutuhkan kesiapan dalam hal akademis, namun juga kesiapan teknis (seperti pengisian lembar jawaban yang tidak boleh salah) dan kesiapan mental yang benar-benar matang. Jika gagal, waktu sekitar 3 tahun yang mereka habiskan di SMA sungguh sia-sia. Ijazah kelulusan yang merupakan syarat mutlak masuk perguruan tinggi hanyalah impian belaka.

Dari dulu aku heran, sesungguhnya apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan Ujian Nasional? Pemikiran apa yang melandasi mereka dalam mengonsep Ujian Nasional sehingga berpengaruh mutlak kepada kelulusan siswa? Sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan hingga jenjang yang begitu tinggi, tak seharusnya mereka mempunyai pemikiran dangkal seperti itu. Berbagai data dari tahun ke tahun menunjukkan parahnya angka ketidaklulusan. Namun, konsep Ujian Nasional tetap saja tak berubah. Padahal, pemerataan fasilitas pendidikan di tiap daerah masih sangat jauh dari kata berhasil.

Tentu sangat tak bijak jika mengkritisi sesuatu tanpa menawarkan solusi. Menurutku, ada baiknya metode untuk menentukan kelulusan siswa mengadopsi sistem penilaian di perguruan tinggi, yang membagi prosentase antara kuis (seperti ulangan harian di SMA), praktikum, Ujian Tengah Semeter (UTS), dan Ujian Akhir Semester (UAS). UAS selalu memegang pengaruh terbesar dari keseluruhan penilaian terhadap mahasiswa, bisa mencapai 50% dari nilai total, namun tidak sepenuhnya. Mungkin ada baiknya pengaruh Ujian Nasional terhadap kelulusan siswa seperti pengaruh UAS terhadap nilai mahasiswa. Jadi, guru pun berhak menentukan kelulusan para siswanya lewat ujian praktek dan ujian sekolah, karena sesungguhnya mereka yang lebih mengetahui kemampuan siswanya. Negara hanya bisa memberikan sebagian dari keseluruhan hasil akhir siswa, bukan secara menyeluruh.

Kini aku hanya bisa berharap pemerintah bisa menggunakan otaknya dalam melaksanakan kebijakan. Jika memang mereka masih terlalu bodoh dalam memahami esensi pendidikan itu sendiri, lebih baik aku nekat maju untuk diterjunkan di kursi DPR beberapa tahun lagi demi merealisasikan niatku itu (ini hanyalah sebuah majas hiperbola, aku sama sekali tak berminat berkutat di bidang politik). Aku begitu memahami kekhawatiran yang dialami oleh para siswa kelas 3 sekarang ini. Bahkan, aku yang sebisa mungkin menekankan kejujuran dalam ujian, memaklumi ketika ada siswa yang terang-terangan menyontek saat Ujian Nasional.

Aku sangat berharap Pemilu Presiden dalam waktu dekat ini memberikan angin perubahan di segala aspek yang menentukan nasib bangsa ini, termasuk dalam bidang pendidikan. Semoga...

3 komentar:

  1. SELAMAT MEMPERINGATI HARI PENDIDIKAN NASIONAL (bagi yang ingat :p) .. Semoga Arwah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat a.k.a. Ki Hajar Dewantara Tidak Murka dan Gentayangan Menyaksikan Kondisi Pendidikan Indonesia Sekarang .. Aamiin .. ^_^

    --dikutip dari status facebook Jan Phaiz pada Sabtu, 2 Mei 2009 pukul 00.45 WIB

    BalasHapus
  2. Ujian Nasional memang menuai kontroversi, tapi zaman orang tua kita juga ada ujian nasional. Pada saat itu persentasi siswa yang lulus sangat kecil di bawah 50 persen. Jadi Ujian Nasional sah-sah saja diadakan, tapi dengan perbaikan tentunya, termasuk pemerataan fasilitas pendidikan hingga ke daerah-daerah.

    Dalam kondisi apapun (kecuali kondisi di mana nyawa menjadi taruhannya) seorang muslim harus bertindak jujur.

    Kekekekeke,,,,

    BalasHapus
  3. Meita@smartgirl5 Mei 2009 pukul 03.10

    Saya,, Meita Eka Fitrianingrum,, sebagai Ka-Dept Pendidikan di HM Geodesi UNDIP (nitip iklan yag Nank. hehehehe),, sebenernya kurang setuju dengan adanya UN...^-^'v
    .
    Scara gitu yag,, masa waktu 3th yang diabisin wad skuLah tiba2 kelulusannya cuma ditentuin selama 3 hari??? (ato skrg jd berapa hari??)
    Gag adil kand???
    .
    Sapa tau aja ada bibit unggul yang berkompeten,, calon penemu planet baru ato pengubah sejarah Indonesia jd negara yang maju,, cuma gara2 dia diare,, jd BAB mulu,, bikin gag konsen belajar,, susah tidur,, gag nafsu makan,, jd pusing2,, badan lemes,, otak jd males mikir,, udah kaya orang sekarat,, pagi2 bangun baru sadar hari ini ada UN,, trus kesiangan,, gag sarapan,, perut masi sakit,, ke skuLah buru2,, lupa minta doa rebu (eh doa restu),, nyampe skuLahan telat,, tyt pengawasnya sangar (matanya melotot dipadu kumis Pak Raden kombinasi badannya Obelix (ato Asterix??)-> yg gendut entu Lhoo),, pas liat soalnya pengin muntah2,, tiba2 perut sakit lagi,, kepala makin pusing,, mulut berbusa (hahaha.. Lebay),,jd gag bisa mikir,, tiba2 aja waktunya abiz CUMA BUAT MBOLAK-BALIK SOAL doank..
    Karena stress,, merasakan ketakutan gag lu2s yang amat sangat berlebihan sekali,, trus menyesal dengan penyakit diarenya (diare penyakit bukan ciy??).. akhirnya putus asa dan lompat dari towernya RCTI (biar reporternya gag susah2 ngliputnya kali,, maybe)..
    Tuw kand,, anak_yang_harusnya_terlahir_menjadi_pengubah_sejarah_Indonesia_jadi_negara_maju_akhirnya_mati_sia-sia deeeeh...
    (Pantesss,, Indonsia gag maju2.. ^-^'v)
    Tuw kand,, gag adil,, sungguh gag adil...
    .
    Jadi,, menurutku,, solusinya adalah,,
    buat anak2 skuLah gituuuu...
    tiap hari diberi tugas,,
    tiap minggu dikasi kuis,,
    tiap bulan diadain ulangan,,
    tiap semester diadain mid sama UAS,,
    trus tiap kelas dipasang CCTV..
    (Hehehehe... ide baguuuussss...!!!)
    .
    Emg terkesan mahhhalll ciyyy,,
    tapi kand,, GAG ADA KESUKSESAN,, KEBERHASILAN,, & KEMENANGAN YANG DIJUAL MURAH!!!
    ^-^'v
    .
    Btw aq malah jadi pusing... @-@'

    BalasHapus