Jumat, 31 Juli 2009

Pesan untuk Sahabat

Makna dari kehidupan sendiri sebenarnya layaknya sebuah drama. Kita hanya perlu memilih peran apa yang ingin kita sandang. Dan dalam menjalankan peran yang kita pilih itu, semua adegan adalah kewenangan kita, baik itu apa saja yang ada di dalamnya, bagaimana kita menjalankannya, atau siapa saja yang terlibat.

Meraih kesuksesan adalah sebuah pilihan. Merangkai mimpi menuju harapan yang cerah adalah hak untuk setiap orang. Semua insan boleh berharap, berangan menjadi dan melakukan yang terbaik. Semua itu pilihan. Jika memang ingin mendapatkan apa yang selama ini terpatri dalam benak kita itu sebagai cita, maka yang pertama kali harus kita lakukan adalah memilih jalan kesuksesan tersebut. Pilihan itu akan membentuk sebuah paradigma yang kembali akan membentuk attitude kita, karena paradigma itu akan menanamkan sebuah visi yang akan mengarahkan kita kepada apa yang menjadi pilihan hidup kita.

Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang pernah keluar dari jalur yang telah ia pilih sebagai jalan hidupnya. Namun cukuplah satu kali kesalahan itu menjadi pembelajaran yang bermakna, yang justru akan menjadikan kita sebagai manusia yang “tak akan pernah salah lagi”. Orang cerdas akan menjadikan kesalahan sebagai referensi sekaligus motivasi agar ia tak pernah jatuh pada lubang yang sama. Ia juga akan menjadikannya sebuah tantangan, jikalau ia mampu menepis segala keraguan dunia untuk mengatasi, atau bahkan menaklukkan kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Konsekuensi logisnya, ia akan mampu menjadi luar biasa justru dari kesalahan itu. Kesalahan adalah guru yang paling efektif untuk membina seseorang.

Banyak fakta menunjukkan, terbentuknya seseorang menjadi manusia yang hebat adalah karena ia telah mengalami “penderitaan” terlebih dahulu. Penderitaan di sini harus dimaknai dengan lebih luas. Penderitaan di sini lebih menjurus kepada sikap mental yang gigih dan pekerja keras, selalu bersedia mengalami masalah karena justru dari sanalah kematangan yang sebenarnya akan didapatkan. Seringkali kita menemukan, anak yang berasal dari kalangan tidak mampu namun mampu melanjutkan studinya ke jenjang yang tinggi, akan lebih gigih daripada anak yang berasal dari keluarga mapan. Hal itu karena keprihatinan yang melandanya telah membentuk mentalnya menjadi seorang yang pantang menyerah.

Nada sumbing dapat datang dari mana saja, bahkan dari seorang yang sangat dekat dengan kita. Langkah paling bijak untuk menyikapinya adalah dengan menutup mata terhadap suara-suara tersebut, kecuali yang membuat kita menjadi lebih baik. Orang tak akan pernah lelah untuk mengomentari segala hal yang kita lakukan. Mereka hanya akan berhenti jika kita telah membuktikan kalau kita berhasil mencapai apa yang menjadi tujuan kita. Karena itu, memendam segala mimpi dalam hati adalah solusi terbaik. Dalam artian, mimpi yang telah kita rangkai tidak perlu kita umbar kepada orang lain secara berlebihan. Cukuplah kita tulis dalam selembar kertas, kita yakini dalam-dalam jika itu benar-benar akan menjadi riwayat hidup kita di kemudian hari, lalu kita lakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Bermimpi besar bukanlah pantangan, namun justru kewajiban. Kejarlah mimpi itu. Jadilah pejuang, jangan jadi orang biasa saja. Jadilah sang pemain kehidupan, jangan mau selalu jadi penonton. Jadilah bukti itu sendiri, jangan menunggu bukti dari orang lain. Kita ada untuk berjuang dan berkarya agar dapat bermakna untuk negeri ini.

Kita pasti bisa!!!

Jumat, 03 Juli 2009

Sebuah Pencerahan Melalui Visualisasi Fiksi


Mataku masih tak mampu berkedip. Ia masih memandang takjub akan indahnya kisah yang dituturkan oleh layar tersebut. Lika-liku kehidupan yang biasanya disajikan terlalu berlebihan dalam sinetron, sama sekali tak nampak dalam film itu. Justru sebaliknya, di sana ditunjukkan bagaimana realita kehidupan juga bisa dipaparkan dalam kemasan yang lebih nyata.

Ini kali kedua aku menonton film yang ide ceritanya bersumber dari novel sensasional karangan penulis kondang Habiburrahman El Shirazy. Tapi aku tetap saja tak mampu menahan haru ketika ada adegan yang menyedihkan, tak mampu menahan tawa kala ada adegan yang menggelikan, serta tak mampu menahan emosi saat ada adegan yang serius. Buatku, setiap bagian dalam film itu telah melekat erat dalam batinku. Apalagi kala aku mengingat statusku sebagai mahasiswa perantauan di kota orang –walaupun belum sampai negeri orang. Aku begitu merasa tidak berguna saat melihat perjuangan Azzam dan para sahabatnya berjuang hidup di Kairo tanpa meminta sepeser pun uang dari keluarga mereka di Indonesia. Bahkan Azzam berjuang di Mesir untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya, berjuang keras menjadi penyuplai biaya hidup mereka, menggantikan tugas ayahnya sejak ia meninggal. Hingga akhirnya, adik-adik Azzam, Husna dan Lia dewasa dan sanggup mendapatkan penghasilan. Ini benar-benar memberiku pelajaran untuk tetap prihatin kala hidup sendiri demi tugas menuntut ilmu.

Persahabatan dan sikap ikhlas untuk senantiasa menolong orang lain juga ditekankan di sana. Kita bisa lihat bagaimana Azzam mampu menjadi pemimpin yang disegani oleh kawan-kawannya sesama orang Indonesia di tempat tinggalnya di Mesir. Bagaimana ia juga senantiasa ikhlas membantu kesulitan orang lain, seperti saat membantu sahabatnya, Fadhil ketika masuk rumah sakit, juga saat menolong Anna Althafunnisa dan temannya saat mereka bertemu pertama kali di bus.

Yang paling menarik sekaligus inti cerita dari film tersebut tentu saja kisah cinta para tokoh film itu, terutama betapa rumitnya cinta Azzam dan Anna Althafunnisa, hingga akhirnya mereka berjodoh dan menikah (ini akan kita temui pada film kedua). Bagaimana kisah mereka sungguh membuat kita iri. Mereka benar-benar menjalin cinta karena dilandasi cinta kepada Allah. Seandainya kita bisa membangun rumah tangga kita seperti mereka membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah seperti dalam film itu, sungguh alangkah indahnya dunia ini. Istri cantik, salihah, cerdas, bukan lagi impian selama kita tetap berpegang teguh pada ajaran agama kala kita masih diberi kesempatan oleh-Nya untuk menghembuskan nafas. Konsekuensi logisnya, keluarga impian yang akan menuntun kita semua menuju surga akhirat –tak hanya dunia– akan selalu menjadi milik kita.

Apakah aku akan mampu seperti Abdullah Khaerul Azzam? Apakah aku akan mampu menjadi pahlawan keluarga? Apakah aku akan mampu menjadi orang yang selalu ikhlas menolong orang lain? Apakah aku akan mampu menjadi pemimpin teman-temanku? Apakah aku akan mendapatkan gadis sekelas Anna Althafunnisa untuk pada akhirnya menjadi bidadariku? Hanya takdir yang mampu menjawab. Tapi sesungguhnya tokoh Azzam kini semakin nyata dalam benakku, seolah ia ada dan mampu menjadi teladan untuk kita semua. Walaupun hanya fiktif, banyak sekali hikmah serta pelajaran yang dapat kita ambil di sana. Terutama untuk mahasiswa yang merantau di luar kampung halamannya, atau bahkan di luar tanah airnya. Semoga film ini menjadi pencerahan bagi kita semua.

Sebuah film yang luar biasa, sebuah film yang memberikan inspirasi, sebuah film yang pasti memotivasi penontonnya untuk terus menjadi manusia yang tidak biasa dan luar biasa.

Ketika Cinta Bertasbih.

Dan semoga, “Anna Althafunnisa”-ku akan datang empat atau lima tahun lagi.

Amin ya Robbal ‘alamin...

Rabu, 10 Juni 2009

Dunia Mahasiswa, Sebuah Miniatur Kehidupan

Ketika seseorang sudah berada dalam sebuah frame berpikir yang pada akhirnya menciptakan sebuah mainset untuk pada akhirnya melahirkan sebuah visi di otaknya, umumnya hal itu akan berimplikasi pada perilakunya dalam kehidupan. Tak terkecuali seseorang yang telah bertekad untuk menegakkan dakwah Islam kepada lingkungan di sekitarnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan apa yang menjadi muara keberhasilan dari jalur-jalur pemikirannya dalam usaha-usaha syiarnya.

Tak perlu melihat terlalu jauh untuk menemukan bukti nyata dari apa yang dijabarkan di atas. Lingkup mahasiswa, yang merupakan kumpulan dari orang-orang terdidik yang heterogen, sudah cukup untuk merepresentasikan masing-masing karakter manusia pada umumnya. Begitu juga dalam urusannya dengan dakwah. Jika dalam kehidupan nyata kita menemukan ulama, maka di lingkungan kampus kita akan menemukan orang-orang yang aktif dalam kegiatan syiar melalui media organisasi. Di fakultas teknik UNDIP sendiri, organisasi yang mewadahi kegiatan keislaman adalah FSMM. Di sanalah mahasiswa yang memiliki satu paradigma dalam kaitannya dengan penegakan syariat Islam berkumpul. Kebanyakan dari mereka memiliki pola pikir yang sama tentang agama, terutama mereka yang telah lama berkutat di sana dan menjadi tulang punggung organisasi tersebut, terutama mereka yang menjadi fungsionaris.

Tentu saja sama sekali tak mengherankan jika orang-orang berada dalam satu kerangka berpikir ketika mereka berada pada sebuah tim yang sama, seperti BEM yang diisi oleh orang-orang yang bersifat kritis dan demokratis, FSMM yang diisi oleh orang-orang yang memiliki basic agama yang kuat, atau FST yang diisi oleh orang-orang progresif yang tertarik pada riset dan pengembangan. Namun adalah sebuah keunikan apabila kala orang-orang tersebut keluar dari tim tersebut, mereka seolah tetap memiliki kesamaan dalam menapaki waktu mereka, yang dapat kita lihat pada keseharian mereka. Kesamaan tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah ikatan yang membuat mereka akan tetap melangkah bersama dalam mewujudkan kesamaan tujuan mereka. Dan inilah yang terlihat di FSMM. Dalam melakukan ikhtiar dakwah, mereka seolah tak pernah berada pada sebuah ikatan saja. Lihatlah, selain lewat FSMM, mereka sering sekali berkumpul untuk melakukan usaha-usaha dakwah itu melalui kegiatan tidak formal. Yang lebih mengesankan, mereka bahkan berada pada sebuah jalur politik yang sama, yang tentunya karena iklim politik tersebut dilandasi oleh apa yang mengikat mereka, yaitu Islam. Bukti nyatanya adalah kala mereka bersatu untuk mengangkat ikhwah mereka pada tatanan pemerintahan negeri ini di bawah bendera PKS.

Keunikan lainnya adalah mereka seringkali menegakkan dakwah itu juga melalui jalur politik di kampus. Sudah bukan rahasia kalau perebutan posisi presiden BEM di fakultas teknik UNDIP benar-benar merupakan miniatur dari pemilihan presiden RI. Nuansa politis begitu kental dalam proses untuk menentukan mahasiswa nomor satu di fakultas teknik tersebut. Dan seperti PKS, kader-kader rohis yang biasanya dimotori oleh para aktivis di FSMM sudah pasti akan sekuat tenaga mengusung calon yang mereka anggap akan amanah dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin, sekaligus menjadi mediator dakwah yang efektif di lingkungan kampus yang menjadi wilayah kekuasannya.

Dunia mahasiswa memang sanggup mewakili kehidupan yang nyata. Dan itulah yang menjadi keunikan dari dunia yang menyenangkan sekaligus menentukan dalam hidup kita selanjutnya itu.

Rabu, 13 Mei 2009

Di Antara Dua Pilihan

Aku sama sekali bukan orang yang setuju dengan pacaran. Tapi, di sini aku hanya ingin memberikan sebuah analogi.

Sebut saja Randy. Sudah sejak lama ia mengidamkan bisa bersanding dengan gadis pujaannya, Kirana. Tak hanya cantik, Kirana juga cerdas, populer, dan sangat berpengaruh di lingkungannya. Tak ada yang tak kenal Kirana di kampusnya.

Tentu saja tak hanya Randy yang menginginkan Kirana. Tapi Randy tak patah arang untuk mendapatkan wanita idamannya itu. Berbagai usaha dilakukannya untuk memikat Kirana. Sampai pada saatnya, ia menyatakan cintanya untuk memastikan apakah Kirana juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.

Terkadang hidup memang tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada Randy. Kirana berkata “tidak” saat Randy memintanya untuk menjadi kekasihnya. Hati Randy hancur, namun itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah itu, Randy mendapat seorang kenalan wanita yang tak jauh berbeda dengan Kirana. Rasty, begitu nama wanita tersebut, tak perlu waktu lama untuk berkomitmen dengan Randy untuk menjadi sepasang kekasih.

Sekian lama menjalin hubungan dengan Rasty, perlahan tapi pasti, bayangan Kirana menghilang dari otak Randy. Ia sangat menikmati jalinan kisahnya dengan Rasty. Namun, pada suatu waktu, samar-samar wajah Kirana terbentuk dalam benak Randy. Dan semakin lama bayangan itu semakin konkret. Bahkan, terbayang di otak Randy untuk kembali pada cinta lamanya itu, dalam artian untuk kembali mengejar Kirana dan meninggalkan Rasty.

Sialnya, saat itu pula Rasty membawa Randy pada Kirana. Ternyata selama ini Rasty dan Kirana adalah sahabat lama. Rasty menemani Randy untuk menemaninya berkunjung ke rumah Kirana. Pertemuan itu pun berdampak sangat buruk untuk Randy. Randy semakin mantap untuk kembali memulai usahanya mendapatkan Kirana dan pergi meninggalkan Rasty.

***

Mereka menyambutku dan teman-temanku. Senyum ramah khas seorang tuan rumah yang menyambut tamunya begitu jelas mereka tunjukkan. Jas berwarna kuning kecoklatan yang merupakan identitas sekaligus kebanggaan mereka melekat indah di tubuh mereka. Mereka lalu mempersilakan kami masuk ke rumah mereka, di kampus ternama di Indonesia itu. Universitas Gadjah Mada.

Walaupun ini kunjungan keduaku di UGM, dan meski aku telah delapan bulan lebih menapaki kehidupan perkuliahan di universitas terbaik di Jawa Tengah, rasa takjubku kepada kampus nasional –yang bukan peninggalan Belanda– tertua di Indonesia itu tak pernah surut. Aura pendidikan di kampus itu begitu terasa. Bangunannya pun telah tertata rapi sehingga memiliki nilai estetika yang tinggi.

Dan saat itu pun tiba. Beberapa menit berjalan kaki dengan dipandu beberapa mahasiswa yang menyambut kami, kami dibawa ke tempat mereka mendapatkan berbagai macam materi perkuliahan. Plang bertuliskan “Fakultas Teknik UGM Jurusan Teknik Geodesi ” menyita perhatianku untuk sesaat, sambil perlahan membuka kenangan pahitku satu tahun yang lalu. Inilah tempat yang begitu kuinginkan saat aku masih berjuang untuk mendapatkan status kelulusan dari SMA. Tanggal 13 April 2008, aku ingat benar hari itu, dari pukul tujuh pagi hingga satu siang, aku terdiam di kursiku dengan diawasi sekitar enam orang pengawas demi berusaha merayu nasib untuk mengizinkanku kuliah di UGM lewat test UM UGM. Berbulan–bulan aku menyiapkan berbagai macam ilmu yang aku dapatkan di SMA agar aku maksimal di hari tersebut, demi sebuah kursi di Teknik Geodesi UGM.

Namun nasib memang tak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kampus Teknik Geodesi UGM ternyata hanya sebuah impian bagiku. Allah tidak –atau belum– mengizinkanku mendapatkan ilmu di universitas yang berposisi di Yogyakarta itu.

Hanya saja, sedikit keberuntungan mampu membawaku ke jurusan yang sama di tempat lain. Universitas Diponegoro mempersilakan aku untuk memakai jas almamater kebanggaannya. Teknik Geodesi UNDIP rela mencantumkan nama “Danang Budi Susetyo” di daftar hadir kuliahnya, yang aku tanda tangani hampir setiap hari –kecuali waktu sesekali aku titip absen.

Namun beberapa bulan belakangan aku kembali memikirkan keinginan yang sama setahun yang lalu. Aku sendiri tak tahu kenapa, tapi keinginan itu makin lama makin kuat. Aku sendiri ingin menghilangkan perasaan ini, tapi tak sanggup. Puncaknya pada tanggal 9 Mei 2009, saat jurusanku mengadakan studi banding ke Teknik Geodesi UGM. Kemapanan yang sungguh luar biasa yang ditunjukkan oleh kampus itu seolah membuatku mantap untuk kembali berikhtiar demi masa depanku, dalam artian ikhtiar yang sama dengan yang aku lakukan setahun lalu: berusaha mendapatkan Kiranaku itu dan terpaksa meninggalkan Rasty.

Aku memang belum menentukan pilihanku. Karena ini sungguh masalah yang tidak main-main. Lagipula, jadwal test SNMPTN yang menjadi peluang terakhirku untuk memasuki gerbang pendidikan UGM berbenturan dengan ujian akhir di jurusanku. Aku hanya dapat berharap Allah memberikan petunjuk kepadaku secepatnya. Dan keputusan apakah aku akan berusaha lagi untuk memasuki UGM atau tidak, aku cuma bisa berdoa semoga itu yang terbaik. Yang jelas, kalau aku memang memilih untuki mengikuti seleksi mahasiswa baru demi UGM, aku mesti memilih slah satu antara bekerja keras untuk meraih hasil maksimal di test tersebut dengan mendapat IP cemerlang di semester duaku di UNDIP.


Sabtu, 02 Mei 2009

Who are you? Pria atau Cowok?

“Pria itu dewasa, punya pendirian, bertanggung jawab, punya visi misi, berkarisma, hidupnya nggak cuma untuk hari ini.... Beda sama cowok, yang .... (kebalikan dari kata-kata sebelumnya)”. Aku sebenarnya belum tahu iklan apa itu. Apakah film, sinetron, atau hanya maskot produk tertentu. Tapi sesungguhnya apa yang dikatakan satu laki-laki dan dua wanita dalam iklan tersebut membuatku tertarik.

Aku telah merasakan dunia cowok dan dunia pria. Perbedaan kualifikasi antara dua sosok itu begitu terasa di usia-usia sepertiku, di masa-masa transisi dari SMA menjadi mahasiswa. Dunia SMA, masa di mana menurut sebagian besar orang adalah saat-saat terindah dalam hidup, penuh dengan keceriaan dan kesenangan, adalah sangat identik dengan cowok. Hidup para anak SMA kebanyakan belum memiliki orientasi yang pasti dan masih mencari jati diri. Mereka akan melakukan apa saja yang mereka suka dan mengikuti apa saja yang menurut mereka sesuai dengan kepribadian dan karakter mereka. Visi ke depan pun hanya sebatas cita-cita yang masih abu-abu dan belum terfokus pada satu tujuan, sehingga realisasinya pun belum jelas. Sungguh berbeda dengan karakter pria yang biasanya mulai muncul di kala kita terlibat interaksi sebagai mahasiswa, terutama di kala kita tergabung dalam sebuah organisasi. Di masa inilah jiwa SMA kita hilang dan digantikan oleh pemikiran seorang pemuda yang memiliki idealisme dan eksistensi yang kuat. Visi dan misinya mulai tertata dan terancang dengan rapi. Paradigma dan cara pandangnya berubah drastis dan akan terus manatap jauh ke depan. Mental yang sebelumnya manja akan digantikan oleh mental juara yang pantang menyerah dan terus berpikir positif. Inilah sosok seorang pria. Paling tidak inilah cerminan para pria yang aku temui di kampusku.

Itu jika kita melihat dari sudut pandang pria. Jika melihat dari sudut pandang wanita, perubahan yang akan aku bahas di sini bukanlah perubahan wanita itu sendiri, melainkan cara wanita melihat pria –dan juga cowok. Cewek-cewek SMA akan melihat cowok hanya sebatas apakah cowok itu tampan, keren, atau populer. Bandingkan dengan wanita dewasa yang tentu akan melihat lebih dari itu. Karisma bagi mereka akan sangat menentukan apakah pria itu menarik atau tidak. Kepemimpinan bagi mereka merupakan pertimbangan yang sangat penting apakah pria itu pantas dicintai atau tidak. Dan yang tak kalah penting, kemapanan merupakan unsur yang tak akan dilupakan wanita dalam mempertimbangkan sosok pria yang layak untuk mereka. Sosok pria lah yang diharapkan para wanita, bukan cowok.

Karena itulah, untuk kita para cowok, kita harus secepatnya berubah. Tanamkan satu kepribadian yang nyata dalam tindak tanduk kita. Tancapkan satu ideologi yang akan mendasari visi kita ke depan. Dan pikirkanlah sebuah tujuan besar yang akan menjadi patokan kita dalam melangkah, sehingga kita tak akan pernah seperti ayam kehilangan induknya yang tak mempunyai arah.

Minggu, 26 April 2009

Ujian Nasional, Ajang Seleksi atau Pembunuh Karakter Pendidikan?

Tanggal 20 April kemarin, para siswa kelas 3 SMA menentukan nasibnya dalam Ujian Nasional. Tak sedikit yang panik dalam menatap ujian yang ditentukan tak hanya oleh bekal akademis, namun juga faktor keberuntungan itu. Aku dapat memahami beban mereka, karena aku juga merasakannya benar tahun lalu. Persiapan yang salah membuatku begitu stres di bulan-bulan seperti ini pada tahun 2008. Tapi Alhamdulillah, karena izin-Nya dan juga keberuntungan yang aku katakan tadi, aku berhasil lolos dari kekhawatiran yang sungguh mengerikan dari konsekuensi negatif yang bisa didapatkan, yaitu tidak lulus SMA.

Sekarang aku memang telah menapaki babak baru di bangku kuliah. Aku memang telah menanggalkan seragam putih abu-abuku dan telah berubah status dari siswa menjadi mahasiswa, dari remaja menjadi pemuda, dari beban orang tua –walaupun aku tahu mereka tak akan terbebani olehku– menjadi pemberi harapan untuk keluarga. Namun sungguh, mendekati waktu Ujian Nasional tahun ini, aku masih saja merasa janggal. Terutama saat aku melihat bagaimana takutnya para siswa dalam menghadapi Ujian Nasional ini lewat televisi, juga saat aku merasakan kekhawatiran adik kelasku menjelang ujian. Seolah-olah aku akan mengulanginya lagi tahun ini.

Sekarang aku ingin memberikan sebuah komparasi. Pada hari yang sama, aku juga melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS). Namun perasaan yang melingkupiku malam harinya sungguh berbeda dengan apa yang para siswa kelas 3 rasakan. Terang saja, apa yang akan aku hadapi bukanlah sebuah penentuan nasib yang akan 100% memberikan keputusan akan kelangsungan hidupku. Nilai UTS hanya beberapa persen dari akumulasi nilai total untuk satu semester. Terlebih, yang aku perlukan dalam menghadapi ujian tersebut hanya kesiapan ilmu yang telah aku dapatkan. Sangat kontras dengan apa yang dipikirkan oleh siswa kelas 3. Ujian Nasional benar-benar menentukan hidup mereka selanjutnya. Mereka tak hanya membutuhkan kesiapan dalam hal akademis, namun juga kesiapan teknis (seperti pengisian lembar jawaban yang tidak boleh salah) dan kesiapan mental yang benar-benar matang. Jika gagal, waktu sekitar 3 tahun yang mereka habiskan di SMA sungguh sia-sia. Ijazah kelulusan yang merupakan syarat mutlak masuk perguruan tinggi hanyalah impian belaka.

Dari dulu aku heran, sesungguhnya apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan Ujian Nasional? Pemikiran apa yang melandasi mereka dalam mengonsep Ujian Nasional sehingga berpengaruh mutlak kepada kelulusan siswa? Sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan hingga jenjang yang begitu tinggi, tak seharusnya mereka mempunyai pemikiran dangkal seperti itu. Berbagai data dari tahun ke tahun menunjukkan parahnya angka ketidaklulusan. Namun, konsep Ujian Nasional tetap saja tak berubah. Padahal, pemerataan fasilitas pendidikan di tiap daerah masih sangat jauh dari kata berhasil.

Tentu sangat tak bijak jika mengkritisi sesuatu tanpa menawarkan solusi. Menurutku, ada baiknya metode untuk menentukan kelulusan siswa mengadopsi sistem penilaian di perguruan tinggi, yang membagi prosentase antara kuis (seperti ulangan harian di SMA), praktikum, Ujian Tengah Semeter (UTS), dan Ujian Akhir Semester (UAS). UAS selalu memegang pengaruh terbesar dari keseluruhan penilaian terhadap mahasiswa, bisa mencapai 50% dari nilai total, namun tidak sepenuhnya. Mungkin ada baiknya pengaruh Ujian Nasional terhadap kelulusan siswa seperti pengaruh UAS terhadap nilai mahasiswa. Jadi, guru pun berhak menentukan kelulusan para siswanya lewat ujian praktek dan ujian sekolah, karena sesungguhnya mereka yang lebih mengetahui kemampuan siswanya. Negara hanya bisa memberikan sebagian dari keseluruhan hasil akhir siswa, bukan secara menyeluruh.

Kini aku hanya bisa berharap pemerintah bisa menggunakan otaknya dalam melaksanakan kebijakan. Jika memang mereka masih terlalu bodoh dalam memahami esensi pendidikan itu sendiri, lebih baik aku nekat maju untuk diterjunkan di kursi DPR beberapa tahun lagi demi merealisasikan niatku itu (ini hanyalah sebuah majas hiperbola, aku sama sekali tak berminat berkutat di bidang politik). Aku begitu memahami kekhawatiran yang dialami oleh para siswa kelas 3 sekarang ini. Bahkan, aku yang sebisa mungkin menekankan kejujuran dalam ujian, memaklumi ketika ada siswa yang terang-terangan menyontek saat Ujian Nasional.

Aku sangat berharap Pemilu Presiden dalam waktu dekat ini memberikan angin perubahan di segala aspek yang menentukan nasib bangsa ini, termasuk dalam bidang pendidikan. Semoga...

Senin, 13 April 2009

Diantara Dua Pilihan

Dulu aku sangat heran dengan pemikiran seorang Cristiano Ronaldo. Sebagai seorang pemain sepak bola apa yang tak ia dapatkan di Manchester United? Ia berada di sebuah klub terbaik di Eropa, bahkan dunia. Gelar pemain terbaik dan top skorer di berbagai ajang juga ia dapatkan saat berkostum The Red Devils. Ia pun telah mendapat tempat di hati Sir Alex Ferguson, sesuatu yang bahkan tak didapatkan David Beckham dan Ruud Van Nistelrooy. Ronaldo juga sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan. Sekarang apa lagi yang ia inginkan dari klub yang bermarkas di Old Traffod itu?

Inilah yang membuatku sangat heran. Sebagai calon legenda United, aku sempat tidak mengerti akan apa yang ada di pikiran Ronaldo. Bagaimana mungkin ia begitu berhasrat untuk pindah ke Real Madrid sementara yang ia dapat di United melebihi prestasi pesepak bola kebanyakan? Apalagi usianya baru menginjak 23 tahun. Dan dari segi nama besar, MU tak kalah mentereng dari Madrid.

Cita-cita dan tantangan. Itulah yang menjadi alasan Ronaldo begitu ngebet ingin hijrah ke Los Merengues. Selain itu, jarak yang relatif lebih dekat antara Spanyol dan Portugal ketimbang dari Inggris ke Portugal menjadi pertimbangan lain CR7. Sejak belia, ia memang bermimpi bisa berkostum El Real. Sementara jiwa mudanya tentu mendominasi, sehingga muncul keinginan untuk merajai tempat lain di luar Inggris.

Anda pasti juga heran, bagaimana pemikiran dangkal dan sederhana seperti itu bisa muncul dalam benaknya? Akupun sempat berpikir demikian. Hanya saja, aku kini semakin menyadari kedewasaanku. Dulu aku lebih sering mengomentari sesuatu tanpa aku pikir terlebih dahulu bagaimana posisi objek yang aku kritisi. Namun setelah menginjak usia remaja menjelang dewasa, dengan pengalaman-pengalaman baruku di bangku kuliah, aku lebih matang dalam melihat posisi seseorang. Termasuk dalam kasus Ronaldo.

***

Hatiku bimbang. Tampaknya apa yang dialami oleh Ronaldo benar-benar menimpa diriku. Aku mulai ragu dengan posisiku sekarang. Di satu sisi, aku telah mendapat segalanya di tempatku bernaung sekarang. Tapi rasa penasaran begitu menghantuiku.

Dalam beberapa bulan terakhir, hidupku berubah total. Tempaan hidup mandiri serta gaya hidup baru sebagai seorang mahasiswa telah membantuku menemukan jati diriku. Aku juga menemukan sosok-sosok saudara seperjuangan -yang aku pikir telah hilang setelah aku berpisah dengan teman-teman sekelasku di SMA- dalam raga kawan-kawanku di jurusan, yang sungguh menyayangiku dan juga sangat aku sayangi. Aku juga telah mendapatkan ilmu yang benar-benar aku cintai, sehingga membantuku dalam menggapai IP yang sungguh membuatku sangat puas dan begitu membanggakan kedua orang tuaku. Perubahan paling signifikan tentu saja perubahan kemampuanku dalam berorganisasi dan bersosialisasi. BEM fakultas dan Himpunan Mahasiswa jurusan sungguh menuntunku untuk mengembangkan kemampuanku dalam dua hal tersebut. Aku juga mendapatkan posisi yang begitu aku impi-impikan, yaitu pimpinan redaksi majalah di fakultas Teknik. Dan yang tak kalah penting, aku tinggal di sebuah kost di mana kekeluargaan di sana begitu erat, yang terbingkai indah dalam kebersamaan Islami.

Anda tentu heran apa yang membuatku begitu bimbang? Nyatanya, aku benar-benar berada di posisi Cristiano Ronaldo (walaupun gaya bermainku lebih mirip Fernando Torres. Hehehe...). Rasa penasaran akan cita-cita yang tak terwujud mulai menggelayuti pikiranku. Jiwa muda yang menginginkan tantangan juga mulai mendominasi batinku.

Jurusan yang aku geluti sekarang memang yang aku cita-citakan, namun tidak dengan kampusnya. Sesungguhnya, aku sangat berharap bisa berada di jurusan yang sama di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Aku sudah mencobanya tahun lalu. Hanya saja, takdir belum membawaku ke sana. Memang, dari segi nama besar, kampusku memang tak kalah dari kampus impianku. Tapi aku terlanjur berharap bisa berada di sana. Aku bahkan sempat berpikir untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi untuk mendapatkan kursi di sana. Hanya saja, aku masih harus berpikir seribu kali untuk melakukannya. Selain memiliki banyak tugas serta amanah di tempatku sekarang, aku belum tentu mendapatkan semua itu di Yogyakarta. Selain itu, jika harus memikirkan seleksi masuk perguruan tinggi, konsentrasi akademisku akan terpecah. Bisa jadi, IP-ku semester ini turun.

Selain itu, jiwa mudaku seakan menantangku untuk membuktikan apakah aku mampu "menaklukkan" Yogyakarta seperti aku menaklukkan Semarang. Dan aku memang ingin membuktikannya. Jika Anda berpikir ini gila, memang sesungguhnya demikian. Jika Anda berpikir aku tidak waras karena mempertaruhkan masa depan hanya karena pembuktian sebuah tantangan, Anda juga tidak salah. Spekulasi Ronaldo masih bisa diantisipasi, karena pemain bola tidak terlalu terpaku pada waktu. Jikapun ia jadi pindah ke Madrid namun pada akhirnya gagal di sana, ia tinggal mencari klub baru. Namun jika aku gagal saat pindah ke Yogyakarta, aku telah menyia-nyiakan tahun yang sesungguhnya sangat berharga, karena mahasiswa begitu terpatok pada waktu dan usia.

Alasan lainnya adalah karena aku begitu menyukai kota Yogyakarta daripada Semarang. Kota itu begitu aku idam-idamkan semenjak aku tinggal sementara di sana saat aku mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi tersebut.

Namun sudahlah. Yang ada di pikiranku kini hanya mendapatkan kembali kecemerlangan akademis semester lalu. Aku tak ingin memikirkan Yogyakarta, walaupun aku begitu berhasrat ke sana, sampai-sampai pikiranku seringkali membayangkan aku memakai jas almamater universitas tersebut. Aku masih sangat mencintai kota baruku ini, karena di sinilah aku mendapat semuanya. Untuk ke depannya, biarkanlah takdir yang menjawab. Saat ini, aku hanya ingin menjadi seorang hamba Allah yang bersyukur.