Minggu, 08 Februari 2009

Kala Pemaknaan Itu Dipertemukan oleh Cinta



Kendaraan itu melaju dengan kecepatan sedang. Suasana tenang, namun dingin menusuk tubuhku, memasuki rongga-rongga kulit menuju setiap sisi-sisi tulangku.

Aku menatap ke luar jendela. Rasanya baru kali ini aku merasakan kegembiraan seperti ini, walaupun aku pernah mendapati diriku lebih bahagia dari sekarang ini. Dan tahukah kau kawan, hal apa yang mampu membuat hati pengembara menjadi riang gembira seolah tak ada beban di pundaknya? Itu adalah ketika ia kembali ke kampung halamannya dengan membawa hasil perantauannya.

Terlalu berlebihan memang jika menyebutku seorang "pengembara". Di sekitarku banyak yang lebih pantas menyandang "gelar" itu. Sekian bulan tak kembali ke kampung halaman, kepulangan mereka kali ini pasti lebih bermakna dariku yang sudah tiga kali mudik.

Tapi aku tak peduli. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku seperti memberi sesuatu yang nyata kepada orang tuaku.

Kerinduan mendadak menyergap batinku. Memori membawaku pada masa kecilku. Dulu aku adalah seorang anak yang bandel. Seringkali aku dinasehati ayahku agar otak kiriku selalu dikembangkan, namun aku selalu menolaknya. Tak ayal, prestasi akademikku di sekolah tak pernah spesial. Ibuku, yang jauh lebih sabar dari ayah, selalu menemaniku belajar setiap malam, meski terkadang aku melakukannya dengan terpaksa.

Pemikiranku yang kini (semakin) dewasa membawaku pada sebuah pertanyaan, "Jika aku memiliki anak kecil yang tingkahnya seperti waktu aku kecil dulu, apa aku akan sabar menghadapinya?"

Namun pertanyaan itu justru membawaku pada kerinduan yang amat sangat. Sungguh luar biasa apa yang telah mereka lakukan dalam 18 tahun hidupku di dunia ini. Mereka merupakan "arsitek" yang sangat sabar dalam "membangun" kepribadian anak-anak mereka. Padahal, bangunan yang mereka rancang sesungguhnya sangat rapuh. Namun dengan bekal berupa cinta, mereka melakukannya dengan ikhlas. Dan hasil akhirnya sungguh luar biasa. Aku merasakan cinta itu menyelimuti diriku selalu, dan membangun kekuatan besar yang mengokohkanku hingga sekarang.

Aku semakin dapat memaknai hidup ini. Aku tahu arah dan tujuan hidupku. Aku mengerti untuk apa aku selama ini berjuang dan berkarya untuk dapat bermakna. Ayah, ibu, aku bukan apa-apa tanpa kalian...

Pemaknaan hidup laksana jalan berliku yang tak akan dapat dilalui dengan sekali tempuh. Makna itu tak akan kau dapat sebelum kau merasakan rintangan yang pasti kau temui di jalan itu. Kau akan selalu dibawa dalam ruang ketidakpastian selama kau belum menemukan tujuan dari makna hidup itu. Dan untuk menemukan pemaknaan hidup itu kau mesti selalu berusaha keluar dari ruang tersebut dengan kekuatan yang dapat kau ciptakan sendiri, yaitu keteguhan hati karena kebenaran yang ada di dalam hatimu, bukan sebuah manipulasi objektif berupa pembenaran yang berdasar atas emosi jiwa yang tak stabil.

Dan aku telah menemukannya sekarang. Apa yang telah aku dapat itu adalah karena pemikiranku yang makin dewasa -ini sudah seharusnya- yang membuatku mengerti akan pemaknaan hidup ini. Dan salah satu makna yang aku dapatkan dan sangat aku hargai adalah makna cinta kedua orang tuaku, yang akhirnya membantuku mengenal pemaknaan hidupku secara komprehensif.

Tak perlu aku sebutkan apa yang aku bawa dari tanah perantauanku untuk kubanggakan di hadapan orang tuaku. Yang pasti, di tanah yang kini aku anggap sebagai rumah keduaku itu aku mendapatkan segalanya yang tak aku dapat sebelumnya, di mana itu diakibatkan oleh keterbatasanku yang sebenarnya kuciptakan sendiri. Satu pelajaran yang dapat aku petik, aku dapat mengatakan kalau segala kekurangan yang dimiliki manusia sebenarnya tak perlu ada jika mereka berkata kepada dirinya sendiri bahwa AKU BISA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Akhirnya kakiku sampai juga di tanahku sendiri. Langkahku mantap. Pandanganku menatap lurus menuju desa yang memiliki sejarah besar bagiku ini. Beratnya beban bawaan yang aku gendong serasa tak berarti mengingat betapa bahagianya aku pulang dengan membawa "sesuatu".

Adikku menyambutku. Aku lalu memberikan kecupan sayang untuknya. Tanpa perlu pikir panjang aku segera masuk untuk menghampiri ibuku.

Aku meletakkan tas bawaanku dan mencium tangan ibu. Aku lalu menyerahkan apa yang telah aku dapat di sana untuk kudedikasikan kepada beliau...

"Perantauan anakmu tak sia-sia, Bu...."



2 komentar:

  1. Okey sbg amatiran Q gtau klo trnyata disini...
    bagus nang..
    keliatan bgt kmu tuh orgnya mudah untuk mensyukuri sgl sswtu yg kmu dpt..
    salut!!
    terusin..
    makan2 c...
    hahaha...
    alpokat ijo!!!

    *Hana*

    BalasHapus
  2. heh, hana ... enak aja ngatain 'amatiran' ...
    gini-gini danang sebenernya memendam sesuatu dalamn dirinya. belum menunjukkan taring dan cakarnya aja.

    oh,ya ...
    untuk tulisanmu kali ini, seperti biasa. kau selalu dan sangat jujur. tapi itulah yang dibutuhkan untuk menghasilkan tulisan bermakna. tulisan seindah apapun akan menjadi kurang berkesan ketika kita menuliskannya demi sebuah kesempurnaan.
    halah, kaya hebat-hebat-a ngasih komentar tentang tulisan.

    apa kabar proyekmu nang? untuk flp?
    i'm waiting lho...

    BalasHapus